Sekilas Soal Marx dan Lenin dalam Historisitas Revolusi Oktober 1917

Savero Wie Lauw
5 min readOct 28, 2020

--

Pasca 102 tahun Peristiwa Revolusi Oktober berlalu, mayoritas masyarakat Indonesia masih mengidap fobia atas kehadiran hantu –yang katanya– paling menakutkan sepanjang awal hingga pertengahan abad ke-20 –yakni hantu komunisme. Tokoh-tokoh komunis yang paling utama, seperti Lenin, Mao Zedong, Polpot ataupun siapa saja yang dianggap sebagai bagian dari pergerakan yang berkiblat pada komunisme, menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian masyarakat awam kita –sehubungan dengan angin indoktrinasi anti-komunisme yang terus ditiupkan di masa rezim otoriter Soeharto.

Titik tolak dari keberhasilan komunisme yang menjelma menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di dunia ini bermula dari Revolusi Bolshevik yang terjadi pada 7 November 1917, atau yang dalam kalender Julian bertepatan dengan 25 Oktober 1917 –sehingga kemudian dikenal dengan istilah Revolusi Oktober.

Dalam Revolusi Bolshevik tersebut, tidak dapat disangkal bahwa terdapat peran yang sangat besar dari pimpinan Partai Bolshevik itu sendiri, yakni Vladimir ‘Lenin’ Ilyich Ulyanov. Peran Lenin inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu peran kunci dari keberhasilan Revolusi Oktober dalam meruntuhkan Tsarisme Rusia yang saat itu dikenal sangat otoriter.

Kendati peran Lenin memiliki arti yang besar bagi kesuksesan Revolusi Bolshevik, hal ini bukan hanya semata-mata berarti bahwa ia menjadi sosok ‘pahlawan’ dalam Revolusi Bolshevik tersebut, namun lebih dari itu, ia merupakan produk dari zamannya.

Pemikiran Lenin yang membawanya membimbing Partai Bolshevik meruntuhkan otoritarianisme Tsar, tidak semerta-merta merupakan hasil pemikirannya sendiri yang jatuh dari langit. Lenin tentu mendapat gagasan-gagasannya tentang konsepsi komunisme ala Uni Soviet–yang kelak akan mengguncang dunia– dari tokoh-tokoh besar yang menjadi mahaguru bagi dirinya. Pemikirannya itu paling besar bersumber dari pemikiran Karl Marx, penulis Manifesto Partai Komunis –bersama kerabatnya Friedrich­­­­ Engels–, yang kelak akan menjadi sosok paling berpengaruh dalam wacana kiri sekaligus pemilik ‘sosialisme ilmiah’ yang diklaim oleh dirinya sendiri.

Peran kunci Marx menjadi penting dalam pembentukan pemikiran Lenin. Dalam perkembangannya, pasca kematian Marx, pemikiran tokoh besar itu banyak diteruskan oleh sahabatnya, Engels. Kemudian istilah Marxisme lahir sejak diperkenalkan oleh menantunya, Paul Lafargue (Mansour Fakih, 2004). Marx dikenal sebagai perancang teori. Ia berusaha merumuskan berbagai dalil untuk membuktikan kehancuran kapitalisme. Sebaliknya, Lenin merupakan praktisi politik. Ia pada akhirnya merubah arah Marxisme yang awalnya hanya sebatas konsepsi teoritis menjadi kekuatan politik konkrit.

Dalam Lenin: Revolusi Oktober 1917 (2004) yang ditulis Saiful Arif dan Eko Prasetyo, pemikiran pokok Lenin secara garis besar dipengaruhi oleh Karl Marx, G. Plekhanov, dan kaum radikal Rusia pra-Marxis.[1] Kemudian, bertolak dari berbagai fase pembelajarannya itu, Lenin menarik konsepsi-konsepsinya sendiri yang kemudian digunakannya sebagai senjata untuk menciptakan revolusi sosialis yang ia cita-citakan.

Karl Marx dalam Pembebasan Belenggu Kapitalisme

Kaum proletar tidak akan kehilangan apapun kecuali belenggu mereka. Mereka punya satu dunia untuk dimenangkan!” Demikianlah seruan Marx dalam Manifesto Partai Komunis yang ditulisnya bersama Friedrich Engels di akhir tahun 1947. Marx memiliki mimpi besar untuk membebaskan kaum proletar dari segala penindasan yang lahir karena kapitalisme. Ia menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk memecahkan teka-teki tentang penindasan yang terjadi di bawah kapitalisme secara ilmiah, serta memberikan ramalan tentang apa yang akan terjadi di hari depan sejarah umat manusia –yang oleh Marx akan terciptakan masyarakat komunis.

Gagasan Marx ini diawali dengan perkenalannya dengan dunia filsafat. Dua tokoh besar yang sangat mempengaruhi pemikirannya adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan Ludwig Feuerbach. Dari Hegel, Marx belajar tentang dialektika idealisme, dimana bagi Hegel, segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan hasil antagonisme (pertentangan) ide, dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi, untuk mencapai Roh Absolut. Dalam pertentangan ide itu, terjadi bergulatan antara konsepsi A (tesis) dengan konsepsi B (antitesis) yang kemudian melahirkan konsepsi C (sintesis) sebagai hasil dari dialektika. Sintesis tersebut nantinya akan menjadi tesis baru dan akan menghadapi antithesis lagi. Hal ini akan terus terjadi seiring meningkatnya taraf pemikiran manusia hingga tercapailah Ide Mutlak.

Dari Feuerbach, Marx mengenal materialisme. Bagi Feuerbach, yang juga disetujui oleh Marx, ide bukanlah realitas pertama seperti yang dijelaskan oleh Hegel, namun materi atau kenyataan konkritlah yang merupakan realitas pertama. Manusialah yang pertama –sebagai yang nyata–, sedangkan roh adalah buah pikiran manusia.[2]

Kemudian, kritik agama Feuerbach juga disoroti Marx. Bagi Feuerbach, agama merupakan proyeksi hakikat manusia, ia memiliki dampak positif karena dengan adanya agama, manusia dapat melihat dirinya dalam proyeksi yang lain. Namun yang dikhawatirkan Feuerbach adalah ketika manusia justru bersikap pasrah kemudian mengharapkan berkah darinya tanpa melakukan usaha apapun, dan men-Tuhankan proyeksi yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Dari sini Feuerbach melihat bahwa terjadi keterasingan (alienasi) yang disebabkan oleh agama.

Berbeda dengan Feuerbach, Marx melihat bahwa agama hanyalah tanda keterasingan manusia, tetapi bukan dasarnya. Kritik agama saja tidak mengubah apa yang melahirkan agama.[3] Dari sini Marx beranjak dari kritik agama menjadi kritik masyarakat. Agama hanya sebagian gejala dari keterasingan yang sesungguhnya, keterasingan sesungguhnya hanya dapat ditemukan dalam masyarakat. Kemudian Marx melihat bahwa keterasingan manusia itu nampak jelas dalam pekerjaan. Pekerjaan yang seharusnya mengembangkan diri manusia, justru menjadi penjara bagi kebebasan manusia. Dalam sistem kapitalisme, manusia terasingkan karena ia bekerja hanya untuk menyambung hidup, bukan untuk pengembangan dirinya.

Atas sumbangan pemikiran Hegel dan Feuerbach, Marx merumuskan dua pokok teori besarnya: Dialektika Materialisme dan Materialisme Historis. Dialektika materialisme menjelaskan bahwa segala pertentangan terjadi di dunia materi (dunia nyata), tidak seperti dialektika idealisme yang menyatakan bahwa pertentangan terjadi di dunia ide. Bagi Marx, kontradiksi ini akan mencapai suatu puncak dimana sudah tidak ada lagi pertentangan di dunia nyata.

Sementara itu, Materialisme historis menjelaskan bahwa segala bentuk masyarakat dalam sejarah dari zaman terdahulu hingga sekarang didasarkan atas keadaan nyata yang ada di masyarakat. Bagi Marx, dalam sejarah perkembangan masyarakat terdapat basis atau struktur bawah dan supersturuktur atau struktur atas. Basis ini terdiri dari dua unsur ekonomis, yakni tenaga produktif (mesin, alat) dan hubungan produksi (sistem kepemilikian, distribusi hasil). Selanjutnya, bangunan atas terdiri atas dua unsur, yakni tatanan institusional (pasar, sistem pendidikan, sistem hukum dan negara) dan tatanan kesadaran kolektif (pandangan hidup, agama, filsafat).[4]

Demikian Marx dengan segala gagasan yang mengilhami Lenin untuk melahirkan revolusi sosialis. Pemikiran Marx ini pun kelak banyak yang dikritik oleh Lenin. Dengan ajaran Marx yang dibekukan dalam Marxisme ini, Lenin berhasil menciptakan sosialisme dengan gayanya sendiri -sebuah ideologi yang kelak dikenal sebagai Marxisme-Leninisme.

Tulisan ini merupakan perluasan dari tulisan yang pernah saya tulis pada pertengahan Oktober 2019 lalu.

[1] Saiful Arif & Eko Prasetyo. 2004. Lenin: Revolusi Oktober 1917. Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 41

[2][2] Franz Magnis-Suseno. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 74

[3] Ibid, hlm 76–77

[4] Ibid, hlm 148 dan Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm 142–143

--

--

Savero Wie Lauw
Savero Wie Lauw

Written by Savero Wie Lauw

A spectre is haunting around -the spectre of Saveroism.

No responses yet